ANALISIS KOMPARATIF TEORI HUKUM ALAM DALAM HUKUM DI INDONESIA
Jumat, 5 Juli 2024 - 13:58:38
Contributor: Azmi Yasmin
Menelusuri sejarah hukum alam berarti mengikuti sejarah manusia yang berjuang menemukan suatu keadilan mutlak dengan berbagai persoalan yang dihadapi. Sejak ribuan tahun yang lalu, ide tentang hukum alam selalu saja muncul sebagai suatu manifestasi usaha manusia merindukan adanya hukum yang lebih tinggi dari hukum positif. Pada saat tertentu, ide tentang hukum alam muncul dengan segala kejayaannya dan di saat lainnya diabaikan. Namun, bagaimanapun hukum alam tidak pernah mati. Dalam perjalanan sejarahnya, hukum alam telah menjalankan dan melayani berbagai fungsi. Menurut Friedmann, di antara fungsinya adalah:
- Sebagai instrumen utama pada saat hukum perdata Romawi Kuno ditransformasikan menjadi suatu sistem internasional;
- Menjadi senjata yang dipakai oleh pihak gereja dan kerajaan dalam pergaulan antara mereka;
- Hukum internasional ditegakkan berdasarkan keabsahan dan atas nama hukum alam;
- Menjadi tumpuan pada saat orang melancarkan perjuangan bagi kebebasan individu berhadapan dengan absolutisme;
- Prinsip-prinsip hukum alam telah dijadikan senjata oleh para hakim Amerika ketika mereka memberikan penafasiran terhadap konstitusi mereka, dengan menolak campur tangan negara melalui perundang undangan yang ditujukan untuk membatasi kemerdekaan ekonomi
Sumber: Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Cetakan V, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, Hlm. 260-261.
Dalam teori klasik hukum alam disebutkan bahwa terdapat prinsip prinsip perilaku yang menunggu untuk ditemukan oleh akal, yang harus diikuti oleh hukum ciptaan manusia jika dikehendaki sebagai yang valid. Hal ini terjadi karena klaim adanya prinsip-prinsip faktual mengenai perilaku yang benar yang dapat ditemukan secara rasional. Biasanya tidak dikemukakan sebagai satu doktrin tersendiri melainkan sejak awal disajikan, dan dipertahankan dalam waktu yang lama sebagai bagian dari sebuah konsep umum tentang alam. Dalam banyak hal, pandangan ini merupakan antithesis atas konsep umum alam yang membentuk kerangka pemikiran sekuler modern. Dari sini terlihat bagi para pengkritiknya, bahwa aliran hukum alam terlihat muncul dari kekacauan lama. Sementara bagi pendukungnya, para pengkritik terlihat hanya berkutat pada hal-hal yang remeh yang mencuat ke permukaan dan mengabaikan kebenaran yang lebih mendalam. Dalam teori klasik hukum alam disebutkan bahwa terdapat prinsip prinsip perilaku yang menunggu untuk ditemukan oleh akal, yang harus diikuti oleh hukum ciptaan manusia jika dikehendaki sebagai yang valid. Hal ini terjadi karena klaim adanya prinsip-prinsip faktual mengenai perilaku yang benar yang dapat ditemukan secara rasional. Biasanya tidak dikemukakan sebagai satu doktrin tersendiri melainkan sejak awal disajikan, dan dipertahankan dalam waktu yang lama sebagai bagian dari sebuah konsep umum tentang alam. Dalam banyak hal, pandangan ini merupakan antithesis atas konsep umum alam yang membentuk kerangka pemikiran sekuler modern. Dari sini terlihat bagi para pengkritiknya, bahwa aliran hukum alam terlihat muncul dari kekacauan lama. Sementara bagi pendukungnya, para pengkritik terlihat hanya berkutat pada hal-hal yang remeh yang mencuat ke permukaan dan mengabaikan kebenaran yang lebih mendalam. Banyak pengkritik modern berpikir bahwa hukum-hukum perilaku yang benar dapat ditemukan oleh akal, sesungguhnya bertumpu pada ambiguitas istilah cara ini pula John Stuart Mill menilai Montesquieu secara naif bertanya mengapa benda-benda tidak bernyawa mematuhi hukum alam mereka, sementara manusia tidak melakukan hal yang sama. Menurut Mill, pertanyaan seperti itu mengacaukan antara hukum-hukum yang merumuskan keteraturan alam dan hukum-hukum yang menuntut manusia untuk berperilaku dengan cara tertentu. Atas dasar pandangan ini, keyakinan pada hukum alam dapat dilihat hanya sebagai sesat fikir yang amat terang, ketidakmampuan menangkap perbedaan besar antara berbagai makna yang terkandung dalam istilah istilah yang melekat pada kata hukum.
Sumber: H.L.A. Hart, The Consept of Law, Cetakan ke-2, Alih bahasa M.Khozim, Nusa Media, Bandung, 2010, Hlm. 287-288.
Hukum alam disebut juga hukum eksternal (lex aeterna) karena telah ada sejak awal adanya dunia, tidak diciptakan, dan abadi. Akhirnya, dinamakan hukum moral karena mengekspresikan prinsip-prinsip moralitas. Hukum alam sebenarnya tidak dapat universal untuk segala waktu dan keadaan karena akal manusia akan berbeda di antara sesamanya. Masyarakat berbeda satu sama lain, baik dalam bentuk, karakter, dan sosialnya. Oleh karenanya, hukum bagaimana pun juga merupakan produk lokal, tidak dapat diterapkan kepada mereka secara merata. Masa depan dan kenyataan-kenyataan sosial dalam masyarakat modern menentukan konsep-konsep hukum sehingga hukum tidak dapat berubah. Di sisi lain, hukum alam merupakan sumber terpenting dari material hukum. Hukum alam sebenarnya terdiri dari prinsip-prinsip material hukum yang tidak bergantung pada kemauan manusia, tetapi berasal dari alam sendiri dan merupakan dasar hukum positif. Satjipto Rahardjo menjelaskan bahwa dalam dunia ilmu, teori menempatkan kedudukan yang penting. Ia memberikan sarana kepada kita untuk bisa merangkum serta memahami masalah yang kita bicarakan secara lebih baik. Hal hal yang semula tampak tersebar dan berdiri sendiri bisa disatukan dan ditunjukkan kaitannya satu sama lain secara bermakna. Teori dengan demikian memberikan penjelasan dengan cara mengorganisasikan dan mensistematisasikan masalah yang dibicarakannya. Teori bisa juga mengandung subjektivitas, apalagi berhadapan dengan suatu fenomena yang cukup kompleks seperti hukum ini. Oleh karena itulah muncul berbagai aliran dalam ilmu hukum sesuai dengan sudut pandang yang dipakai oleh orang-orang yang tergabung dalam aliran-aliran tersebut. Setiap teori termasuk teori hukum alam mempunyai paling sedikit dua fungsi, yaitu fungsi menjelaskan fenomena dan fungsi meramalkan fenomena. Pemahaman ini sejalan dengan pendapat Kerlinger yang menyatakan bahwa “There is a set of interrelated cunstructs (concepts), definition, and propositions that present a systematics view of phenomena by specifiying relations among variable with the purpose of explaining and predicting the phenomena.” Sehubungan dengan adanya hal tersebut, maka Pengadilan bukan semata mata sebagai badan untuk mengadili, melainkan sebagai pengertian abstrak, yaitu “hal memberikan keadilan”. Hal memberikan keadilan berarti yang bertalian dengan tugas badan pengadilan atau hakim dalam memberikan keadilan, yaitu memberikan kepada yang bersangkutan. Konkritnya kepada yang mohon keadilan apa yang menjadi haknya atau hukumnya. Para hakim dituntut untuk secara totalitas melibatkan dirinya pada saat membuat putusan, bukan hanya untuk mengandalkan kemahirannya mengenai perundang-undangan. Menurut Ruslan Saleh, “Seorang hakim diharapkan senantiasa menempatkan dirinya dalam hukum sehingga hukum baginya merupakan hakekat hidupnya. Hakim tidak boleh menganggap hukum sebagai suatu rangkaian dari larangan dan perintah yang akan mengurangi kemerdekaannya, melainkan sebaliknya hukum harus menjadi sesuatu yang mengisi kemerdekaannya. Oleh karena itu, “hukum itu bukan semata-mata peraturan atau undang-undang, tetapi lebih dari pada itu: ‘perilaku’ Undang-Undang memang penting dalam negara hukum, akan tetapi bukan segalanya dan proses memberi keadilan kepada masyarakat tidak begitu saja berakhir melalui kelahiran pasal-pasal Undang Undang”. Akan tetapi faktanya lembaga pengadilan telah tidak mampu memenuhi harapan masyarakat pencari keadilan. Jika kita memotret penegakan hukum di Indonesia saat ini belumlah berjalan dengan baik, bahkan bisa dikatakan buruk. Lemahnya penegakan hukum di Indonesia tercermin dari berbagai kasus yang belum tuntas dan tak tersentuh rasa keadilan. Realita penegakan hukum yang demikian sudah pasti akan menciderai hati rakyat kecil yang berujung pada ketidakpercayaan masyarakat terhadap hukum, khususnya penegak hukum itu sendiri.
Sumber: Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Cetakan V, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, Hlm. 110-111.
Dengan penerapan teori hukum melalui keilmuan dari aliran Sociological Jurisprudence berusaha untuk menyatukan ilmu hukum dengan lingkungannya yaitu masyarakat, konsekuensi logis ini mengarah pada sistem kerja penegak hukum. Penegakan hukum yang carut marut, kacau dan mengesampingkan keadilan tersebut bisa saja diminimalisir kalau seandainya hukum dikembalikan kepada fungsi aslinya, yaitu untuk menciptakan keadilan, ketertiban serta kenyamanan. Selain itu sebagaimana menurut Soerjono Soekanto, hukum dapat berfungsi dengan baik diperlukan keserasian hubungan empat faktor, yaitu:
- Hukum itu peraturan sendiri, sehingga diperlukan adanya keserasian antara peraturan perundang-undangan yang ada;
- Fasilitas pelaksanaan hukumnya yang memadai, sebab sering kali hukum sulit ditegakan bahwa tak tertangani karena fasilitas untuk menegakannya tidak memadai ataupun tidak tersedia;
- Kesadaran dan kepastian hukum serta perilaku masyarakat itu sendiri;
- Mental aparat penegakan hukum. Dalam hal ini adalah pelaku hukum secara langsung seperti polisi, jaksa, pengacara, hakim, petugas lembaga pemasyarakatan dan sebagainya karena pada dasarnya penegakan hukum sangat tergantung pada mentalitas para aparatur penegak hukumnya.
Sumber: Suhaibah, Pembentukan Budaya Hukum Atas Keadilan Untuk Menjamin Kepastian Hukum Pada Masyarakat, Jurnal Ilmiah “Research Sains” Vol. 1. No 1 Januari 2015, Hlm. 5.