KPAI bersama sejumlah stakeholder melakukan Focus Group Discussion (FGD) perihal polemik Peraturan Pemerintah No 28 Tahun 2024 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan


Selasa, 20 Agustus 2024 - 08:10:22

Mengutip Berita dari Website Komisi Perlidungan Anak Indonesia hari senin, 20 Agustus 2024. Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2024 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan Pasal 103 Ayat 4 huruf e menyatakan bahwa salah satu bentuk pelayanan kesehatan reproduksi untuk usia sekolah dan remaja adalah penyediaan alat kontrasepsi. Hal ini menimbulkan polemik di masyarakat karena dianggap dapat melegalkan hubungan seksual di kalangan remaja.

Tantangan penerapan Pasal 103 Ayat 4 adalah dalam menangani resistensi dari masyarakat yang khawatir kebijakan ini dapat mendorong perilaku seksual di luar nikah dan pelaksanaan regulasi yang ketat untuk pemberian alat kontrasepsi untuk remaja yaitu:

(1) alat kontrasepsi hanya diberikan kepada remaja yang sudah menikah atau yang membutuhkan untuk alasan medis, remaja yang belum menikah tidak diperkenankan menerima alat kontrasepsi kecuali ada indikasi medis yang jelas dan disetujui oleh tenaga medis yang berwenang,

(2) pemberian alat kontrasepsi dilakukan di fasilitas kesehatan yang telah ditunjuk oleh pemerintah,

(3) Setiap remaja yang menerima alat kontrasepsi harus melalui proses konseling terlebih dahulu untuk memastikan mereka memahami penggunaan dan risiko yang terkait, Konseling dilakukan oleh tenaga medis, tenaga kesehatan, atau konselor yang memiliki kompetensi sesuai dengan kewenangannya.

Dalam Peraturan Pemerintah tersebut, KPAI menyoroti 9 kluster yaitu

(1) ibu, bayi, anak dan remaja;

(2) penyandang disabilitas;

(3) gizi;

(4) upaya kesehatan jiwa;

(5) usaha kesehatan sekolah;

(6) kesehatan reproduksi remaja;

(7) kesehatan lingkungan;

(8) perlindungan anak dari produk zat adiktif dan rokok elektronik; dan

(9) skema pembiayaan kesehatan anak.

Sejumlah 92 pengaduan masyarakat telah diterima KPAI terkait akses kesehatan seperti aduan terkait layanan gangguan jantung anak yang berakhir meninggal; orang tua korban melaporkan bahwa tidak mendapat penjelasan yang memadai dari pihak rumah sakit terkait penyakit yang diderita anaknya hingga meninggal; puluhan anak korban sodomi yang kesulitan mengakses visum karena tidak ada fasilitas pemeriksaan di daerah terdekat, sehingga menggunakan pembiayaan mandiri dengan meminta warga mengumpulkan donasi untuk bisa melakukan visum korban (Pusdatin KPAI, Mei 2023).

“Penanganan kasus-kasus seperti ini membutuhkan kepastian dan jaminan hukum yang jelas agar dukungan layanan kesehatan dapat mempercepat proses dan memberi akses keadilan bagi korban, serta rencana pemulihan jangka panjang,” ucap Ai Maryati Solihah Ketua KPAI saat membuka Focus Group Discussion (FGD).

FGD yang membahas terkait PP No. 28 Tahun 2024 dengan fokus permasalahan pada keberpihakan regulasi kebijakan yang berperspektif pada perlindungan anak tersebut dilaksanakan di Kantor KPAI pada, Senin (19/08/2024) dan dibuka langsung oleh Ketua KPAI Ai Maryati Solihah dan pemantik diskusi Wakil Ketua KPAI Jasra Putra. Hadir narasumber dalam FGD ini yakni Kepala Tim Kerja Kesehatan Usia Sekolah dan Remaja Kementerian Kesehatan RR. Weni Kusumaningrum, Direktur Bina Pelayanan KB Wilayah Khusus BKKBN Fajar Firdawati, Perkumpulan Pengajar dan Praktisi Hukum Ketenagakerjaan Ahmad Ansyori dan dimoderatori oleh Anggota Pokja Kesehatan KPAI/Dosen Program Studi Gizi Universitas Al-Azhar Indonesia Hadir peserta dari Kementerian/Lembaga terkait, Lembaga Non Pemerintah dan Anggota POKJA Kesehatan KPAI.

Pemerintah berargumen bahwa kebijakan ini bertujuan untuk memberikan edukasi dan perlindungan kesehatan reproduksi bagi remaja yang sudah menikah atau yang membutuhkan alat kontrasepsi untuk alasan medis. Penyediaan alat kontrasepsi juga diharapkan dapat mengurangi risiko kehamilan yang tidak diinginkan dan penyakit menular seksual di kalangan remaja. Pemerintah menegaskan bahwa penyediaan alat kontrasepsi akan dilakukan dengan prosedur yang ketat dan hanya diberikan kepada remaja yang memenuhi kriteria tertentu.

“Edukasi tentang kesehatan reproduksi akan dilakukan secara komprehensif untuk memastikan remaja memahami risiko dan tanggung jawab terkait perilaku seksual. Pelayanan kesehatan reproduksi, termasuk pemberian alat kontrasepsi, harus memperhatikan privasi dan kerahasiaan remaja,” tutur Jasra Putra Wakil Ketua KPAI sekaligus pengampu klaster kesehatan.

Lebih lanjut, Jasra menegaskan bahwa data dan informasi pribadi remaja yang menerima alat kontrasepsi harus dijaga kerahasiaannya dan tidak boleh disebarluaskan tanpa izin.

Dalam FGD ini disepakati beberapa rekomendasi yaitu:

  1. Mendorong agar Kementerian Kesehatan merevisi PP 28 Tahun 2024 Pasal 103 ayat 4 dengan menuliskan secara jelas penyediaan alat kontrasepsi bagi usia remaja hanya bisa diberikan kepada remaja yang telah menikah dan/atau AMPK dan alat kontrasepsi tidak boleh diberikan untuk remaja yang belum menikah;
  2. Pemerintah bisa menerbitkan Peraturan Presiden untuk mencabut sebagian pasal dan ayat di PP 28 Tahun 2024 khususnya untuk mencabut dan/atau merevisi pasal 103 ayat 4 agar tidak terjadi multitafsir di Masyarakat luas;
  3. Pemberian KIE bagi remaja dan/atau AMPK adalah pilihan pertama untuk mengedukasi remaja dan/atau AMPK dan penyediaan alat kontrasepsi bagi remaja yang telah menikah dan/atau AMPK adalah pilihan terakhir;
  4. Kementerian Kesehatan harus membuat rincian pelaksanaan Pasal 103 PP 28 melalui Permenkes yang didalamnya harus menjelaskan secara rinci pelaksanaan teknis penyediaan alat kontrasepsi bagi pasangan usia subur yang telah yang telah menikah dan/atau AMPK dengan persyaratan teknis dan administratif yang sangat ketat;
  5. Penyediaan alat kontrasepsi bagi pasangan usia subur yang telah menikah dan/atau AMPK tidak boleh diberikan disemua satuan Pendidikan milik pemerintah dan/atau swasta;
  6. Penyediaan alat kontrasepsi bagi remaja yang telah menikah dan/atau AMPK hanya bisa dilakukan di fasilitas Kesehatan dan hanya bisa diberikan oleh tenaga Kesehatan dengan persyaratan persyaratan teknis dan administratif yang sangat ketat;
  7. Penyediaan layanan reproduksi bagi remaja yang telah menikah harus mengedepankan prinsip kepentingan terbaik bagi anak dan harus menggunakan prinsip “bebas stigma” bagi remaja dan/atau AMPK yang akan mendapatkan pelayanan reproduksi dari tenaga Kesehatan dan/atau fasilitas Kesehatan;
  8. Diperlukan kajian yang lebih mendalam khusus untuk pasal 103 ayat 4 PP 28 tahun 2024 ini.

Tentu KPAI mendukung kebijakan kesehatan nasional yang bertujuan untuk meningkatkan kesehatan reproduksi dan kesejahteraan remaja, untuk mengurangi risiko kehamilan yang tidak diinginkan di kalangan remaja, yang dapat berdampak negatif pada kesehatan fisik dan mental mereka. Hal ini dalam rangka melindungi kesehatan reproduksi remaja juga memperkuat kolaborasi antara pemerintah, LSM, akademisi dan masyarakat dalam menangani isu kesehatan pada anak remaja.